Kamis, 23 Oktober 2008

Susahnya Menikah di Adat Batak

Sumber: http://henry.gultom.or.id/index.php/archives/2005/07/02/susahnya-menikah-di-adat-batak/

Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbeda-beda. Adat budaya Batak ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama, hagabeon, hamoraan, uhum dan ugari, pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai hamoraan (kehormatan) terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang. Nilai uhum (law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada kesungguhan dalam penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari keta’atan pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman (perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.

Masalah ini sudah terjadi 1 bulan belakangan ini, dan mulai terlihat keputusannya hari ini. Dalam keluarga batak eratnya rasa kekeluargaan merupakan suatu aliran turun temurun yang diturunkan dari nenek moyang ke setiap manusia yang dilahirkan dari suku batak. Kekuataan itu kekeluargaan dalam satu marga baik terjadi baik dari satu darah(kandung) maupun satu marga dari berbeda keluarga. Contoh saya bermarga Gultom bila bertemu dengan marga Gultom dari berbeda keluarga tetap harus dianggap sebagai satu Klan Gultom. Walaupun garis turunannya berbeda dengan turunan saya dari Bapak. Ini harus dijaga sampai kapanpun, sampai akhir hayat. Dan setiap orang batak harus selalu melibatkan saudara-saudaranya yang masih ada dan sesepuh untuk membantu dalam hal pernikahan. Sebenarnya tidak ada peraturan atau anjuran untuk menikah dengan orang batak. Boleh mengambil suku lain selama cocok dan memiliki satu tujuan baik. Tetapi biasanya jika lelaki bermarga batak mengambil calon istri suku lain sudah sewajarnya calon istrinya diangkat dan diberikan marga untuk bisa dimasukkan dalam garis kekeluargaan suku batak. Contoh jika saya mempunyai calon istri dari suku Chinesse, maka istri saya harus diberikan marga dari ibu saya misalnya Pakpahan, dan nantinya namanya ada tambahan Pakpahan. Ini sudah dilaksanankan turun temurun sampai saat ini. Dan juga ada prosesi adat dalam pengangkatannya, dan turunlah para punguan Gultom dan Pakpahan untuk memberikan ulos dan sebagainya dalam prosesi itu.

Saya sangat terpukul juga dengan masalah ini dimana saya mempunyai tulang di Semarang yang berkerja di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Tulang saya ini bukan tulang kandung dari adik Ibu saya tetapi sesama marga menjadi satu klan Pakpahan. Tetapi Tulang dari Ompung ompunya di Sidikalang Dairi. Tetapi sudah kami anggap sebagai tulang sendiri sejak kecil. Apalagi tulang kandung dari adik mama sudah tiada.

Tulang kami ini secara karir dan pendidikan bagus lulusan luar negeri, tetapi memiliki pemikiran tentang adat batak sangat kurang, dan tidak mau melakukan proses apapun yang berbau keadatan. Hal ini dia tunjukkan ketika akan menikah dengan calon istri suku jawa di Semarang. Kakaknya tertua yang di Jakarta sudah merencanakan adat batak khususnya mengangkat calon istrinya menjadi marga Gultom, semua sudah dipersiapkan dari kumpulan punguan Gultom Jakarta dan punguan Gultom Semarang. 2 minggu menjelang pernikahan tulang kami di Semarang membatalkan dan tidak bersedia akan prosesi adat batak yang ada pengangkatan ini, dan mau nikah secara nasional saja di Semarang tanpa embel-embel prosesi tersebut. Alangkah terkejutnya kakak tertuanya yang di Jakarta dan merasa tersinggung dan tidak dihargai oleh keputusan tulang di Semarang. Tulang tertua kami juga merasa malu dan tidak enak kepada punguan Gultom dan Pakpahan yang sudah menyiapkan segala sesuatu. Kasus menjadi rumit sampai inaguda-inanguda tulang kami menjadi sedih dan terpukul. Karena ada juga adik tulang yang di Semarang menikah dengan suku jawa tetapi mau diangkat marga dan perlaksanaan pernikahan dan adat berjalan baik tanpa hambatan. Tetapi kenapa tulang di Semarang ini sangat berbeda pemikirannya. Sangking sedihnya pihak inganguda(kakak dan adik tulang di Semarang) menyatakan tidak akan menghadiri acara tersebut, tetapi atas saran ompung-ompung di Medan tulang (kakak tertua) harus datang dengan apapun resiko. Saya juga ingin datang tetapi karena hari ini ada pekerjaan jadinya batal begitu juga dengan sepupu-sepupu saya dari Gultom dan Pakpahan di sini jadi mengurungkan niatnya untuk datang. Hal ini menjadi pelajaran dan pengalaman bagi kami dan sepupu-sepupu saya khususnya jika ingin menikah pikirkan semuanya secara matang, dan jangan ada pihak yang dikorbankan khususnya pihak keluarga sendiri, karena kebanggaannya adalah eratnya hubungan kekeluargaan dalam suku batak.

kutipan terkahir yang penting sbb :

Marga bagi orang Batak biasanya adalah identitas yang menunjukan silsilah dari nenek moyang asalnya. Sebagaimana diketahui marga bagi orang Batak diturunkan secara patrinial artinya menurut garis ayah. Sebutan berdasarkan satu kakek dalam marga yang sama markahanggi (semarga). Orang batak yang semarga merasa bersaudara kandung sekalipun mereka tidak seibu-sebapak. Mereka saling menjaga, saling melindungi, dan saling tolong-menolong (St. Tinggi Barani P. Alam 1977:5).

Tidak ada komentar: