Jumat, 17 Oktober 2008

Umpasa Simalungun

Simalungun Kasmaran
Sumber: http://mysarimatondang.blogspot.com


Jika ahli-ahli sastra dapat dipercaya, tidak ngibul dan mengada-ada, maka kita harus percaya juga bahwa dulu di zaman kuda gigit besi pun, kebiasaan berSMS-SMS-an sudah ada di kalangan muda-mudi yang sedang kasmaran. Jika banyak orang tua dewasa ini yang mengeluhkan anak-anak remaja mereka yang sering bikin jengkel karena tiap awal bulan begitu disiplin menagih uang pulsa, lalu di meja makan sambil angkat sebelah kaki di kursi, tangannya tak luput-luput dari ponsel dengan setengah acuh menyantap makan malam, tak sepenuhnya mereka bisa disalahkan. Sejak dulu nenek moyang kita mungkin juga begitu di kala remaja. Saling bertukar pesan rahasia. Jadi apa mau dikata?

Memang, di zaman antah-berantah belum ada ponsel. Pendiri Nokia pasti lah masih di awang-awang kala itu. Internet juga belum tercipta sebagai arena ber YM-ria. Berpikir tentang kemungkinan adanya internet saat itu pasti dicurigai percaya pada takhyul. Tapi jangan salah. Orang-orang di generasi nenek-moyang kita dahulu tak kalah akal untuk bisa mencurahkan isi hati yang tersembunyi. Tak ada ponsel dan internet, mereka pun menggunakan daun sebagai medium bertukar pesan. Lewat dedaunan malah mungkin lebih asyik.

Tidak percaya? Sebaiknya percaya deh. Sebab yang mengatakannya adalah Ch. A. van Ophuijsen. Di zamannya, dia ini gurubesar bahasa Melayu di Universitas Leiden. Pendapatnya biasanya sangat didengar, walau pun kadang-kadang ada juga yang membantahnya. Menurut Ophuijsen, dalam masyarakat Batak Mandailing, terdapat kebiasaan orang yang menjalin cinta menggunakan daun-daun dalam bertukar-pesan. Daun menjadi medium surat-menyurat mereka. Tapi bukan cuma itu. Lebih dari sekadar medium penyampai pesan, daun juga menjadi pesan itu sendiri. Sebagai contoh ambillah daun setanggis. Daun itu mengandung asosiasi bunyi (dan selanjutnya arti) tangis. Maka daun itu juga dipergunakan untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan kesedihan. Begitu juga dengan pahu, yang mengandung asosiasi bunyi au (saya). Ia juga dipergunakan sebagai perlambang au. (saya).

Ophuijsen mengatakan bahasa daun ini lah yang jadi asal-usul ende-ende, yakni semacam pantun dalam tradisi Mandailing. Ia mengatakan begitu karena dalam ende-ende banyak ditemukan nama-nama daun dan tanaman dalam dua baris pertama-nya, untuk kemudian dilanjutkan oleh isi pesan di dua baris berikutnya. Ophuijsen selanjutnya berteori bahwa bahasa daun ini lah asal-mula pantun, sebuah teori yang mendapat bantahan dari beberapa pakar lain.

Kebiasaan menggunakan suatu benda sebagai medium sekaligus isi pesan juga ditemukan dalam budaya lain. Misalnya dalam tradisi Melayu. Setelah beberapa hari menikah, seorang pria Melayu biasanya akan memberi ikan belanak kepada sang istri. Pemberian itu adalah perlambang pesan agar sang istri cepat-cepat mengandung, untuk kemudian beranak (sangat mirip dengan kata belanak, bukan?). Ikan belanak biasanya anaknya banyak. Agak bermiripan dalam adat Batak. Kepada pihak perempuan (boru), sajian yang lazim adalah ikan mas. Ikan mas juga terkenal subur dalam soal bertelur.

Bila membaca kisah ini, para ahli komunikasi mungkin tak bisa tidak akan segera ingat pada Marshall McLuhan, yang pada tahun 1967 menerbitkan buku yang kemudian jadi klasik: The Medium is the Message: An Inventory Effect. Salah satu inti dari buku yang pada edisi awalnya mengandung salah cetak (sehingga terbit dengan judul: The Medium is the Massage, yang oleh kebanyakan orang ditafsirkan sebagai: The Medium is the Mass-Age), berkata bahwa medium yang dominan dalam berkomunikasi selalu mempengaruhi cara manusia berfikir, bertindak dan menerima (menempatkan) dunia di sekitar mereka. Oleh karena itu (teknologi) media tak lagi sekadar pengantar atau perantara pesan. Ia sudah menjadi pesan itu sendiri. Mirip-mirip dengan daun di ende-ende Mandailing tadi. Daun tak sekadar pengantar pesan, tapi daun itu sendiri juga adalah pesan yang disampaikan.

Fakta pendukung dari The Medium is the Message itu di zaman sekarang makin banyak kita jumpai. Dulu, mengundang kerabat lewat telepon untuk menghadiri perkawinan sudah dianggap kurang sopan. Kini seseorang sudah berhak menuntut pertanggung-jawaban jika kita tak hadir di hajatan yang ia selenggarakan, walau pun undangan yang kita terima hanya berupa 30 karakter SMS via handphone CDMA (Rp1 per karakter =Rp30 untuk 30 karakter). Perubahan medium penyampai pesan telah juga mengubah cara dan kebiasaan kita mempersepsikan sesuatu.

Betapa media telah banyak menentukan cara hidup juga terlihat dari makin banyaknya acara-acara seremoni yang bersifat serius mau pun setengah serius yang meniru-niru format talkshow di televisi. Pembawa acara seringkali tak sungkan-sungkan berkata, “Jangan kemana-mana, kami akan kembali setelah yang satu ini....” seolah-olah para hadirin di acara itu punya pilihan lain selain duduk manis mengikuti tahap demi tahap seremoni dimaksud. Sampai-sampai seorang mantan narapidana berlelucon bahwa ucapan yang paling mengganggu mereka tatkala menonton televisi di penjara adalah “Jangan kemana-mana” itu. Sebab, memang para narapidana itu mau kemana?

Jika selama ini kita menganggap televisi lah yang menjadi 'medium' untuk memantulkan realitas keseharian hidup, pada perjalanannya justru realitas hidup itu sendiri yang memantulkan apa yang ada pada medium. Kait-mengait hubungan antara media dan realitas jadi makin tak jelas, siapa yang mengatur siapa. Sampai-sampai, misalnya, pertandingan sepak bola harus mengikuti jadwal siaran langsung televisi. Dan memang begitu lah yang harus kita hadapi dewasa ini. Media sebagai medium tak lagi sekadar pemantul realitas, tetapi sudah menjelma jadi realitas itu sendiri.

Baru-baru ini seorang mantan Presiden berkata bahwa jika sebuah pemerintahan tak bisa diharapkan lagi, sama saja dengan pemerintahan yang hang. Jalan satu-satunya adalah melakukan shut down dan restart. Lagi-lagi kita tergoda untuk mengunyah pesan itu lewat kaca mata the medium is the message. Sebab, kalau medium dari pesan itu bukan sang mantan, yang notabene ahli bikin pesawat terbang, pasti lah tak terlalu kita hiraukan. Tapi karena ini di zaman lagi hiruk-pikuk orang berlomba mengikuti jejak Obama dan bicara soal restart segala, wah... ada apa ini. Kecuali itu, kita makin disadarkan betapa medium telah banyak mengubah kita dalam berkomunikasi. Kita sudah bicara soal shut down dan restart. Sebentar lagi (atau sudah) kita lebih memilih menggunakan kata game over ketimbang R.I.P.....

II

Tapi saya tak sedang bicara revolusi karena itu bukan minat apalagi keahlian saya. Lagipula sudah terlalu banyak politisi yang dengan sukacita mengurusinya. Jika pun saya mengusik Ophuijsen dari 'tidur panjang'nya dan membawa-bawa nama McLuhan untuk jadi perbincangan, Anda pasti sudah tahu kebiasaan norak saya dalam menulis di blog ini. Tak lain tak bukan hanya sekadar untuk 'menggawat-gawatkan' sebuah topik yang bagi kebanyakan orang mungkin remeh-temeh. Yakni tentang pantun Simalungun manakala mereka kasmaran.

Semua orang yang pernah mengalami pasti tahu bahwa tiap muda-mudi yang kasmaran mengerti benar dampak The Medium is The Message. Buktinya, seringkali terjadi seorang gadis yang sangat talkative tiba-tiba jadi kelu ketika berhadapan dengan pangeran yang jadi dambaannya. Pemuda yang terkenal jagoan kampung kemana-mana, tiba-tiba mengkeret dan keringat dingin manakala berhadapan dengan si nona yang jadi pujaan. Itu terjadi karena pada saat-saat seperti ini memang sangat penting lah the medium is the message itu. Isi hati tak boleh diperlihatkan secara sembarangan. Kata-kata cinta tak boleh diumbar seperti kemeja di musim obral. Harus cermat memilih medium-nya. Dan juga harus hati-hati mengisi konten-nya. Nah, dihadapkan pada keadaan semacam ini, kontan saja si jagoan kampung jadi terbata-bata, berpikir keras bagaimana bicara yang elegan tapi kena deh. Si gadis talkative pun mendadak sealim biarawati di hadapan pria sanjungannya. Takut salah ucap tapi malah jadi salah tingkah beneran.

Menurut dugaan amatiran saya, begitu lah asal-mula lahirnya pantun dalam berbagai tradisi, termasuk di Simalungun. Pantun dianggap sebagai cara penyampai pesan yang santun (dalam bahasa Toba dan Simalungun, pantun juga berpadanan arti dengan santun), menekan sekecil mungkin potensi menyinggung hati pendengar yang jadi sasarannya. Kesantunan itu tetap perlu bahkan untuk pantun yang bermaksud menyindir. Kala lain pantun bisa juga sedih, jenaka mau pun mesra tetapi intinya tetap. Ia disampaikan dengan sepenuhnya mempertimbangkan perasaan sasarannya.

Maka kala seorang Pemuda Simalungun sudah demikian jatuh cinta-nya kepada sang incarannya, ia pun akan menyampaikan rayuan tergombal di dunia yang sudah pernah ada sepanjang zaman sepanjang abad. Walau gombal, tetapi manakala dibungkus dalam bingkai pantun, ia jadi terdengar mendayu-dayu, membawa hati dan pikiran pendengarnya melayang kendati mungkin disampaikan di pojok teras disamping got, dengan nyamuk berkeliaran memagut betis dan lengan pasangannya.

Buei pe lintah dordor
I sampalan Nanggabosi
Buei pe nahutonggor
Sada ham hupandolosi

(Banyak lintah berkeliaran
Di kubangan kerbau Nanggabosi
Walau banyak yang telah kulihat
Hanya engkau yang kucintai)


Seiring dengan perjalanan waktu, sang Pemuda pun sudah bisa membaca isi hati calon kekasihnya. Sang gadis seringkali pura-pura cemberut manakala ketemu tapi justru seperti ayam kehilangan induk manakala kala jauh. Ah, tahu lah Pemuda pantun macam apa kiranya yang cocok dipersembahkan kepada sang bidadari. Pantun yang ditujukan untuk menggodanya dan untuk membuat si dia tersipu-sipu:

Sordam ni urang-iring
Sogop i barung-barung
Hatamu do magigi
Uhurmu margagayung

(Suling orang mengiring
hinggap di gubuk-gubuk
Ucapanmu mengatakan benci
(tapi) hatimu sesungguhnya tertambat)


Adakalanya justru sang perempuan yang agak agresif. Dan ini tidak dilarang, lho. Rupanya sang Pemuda begitu minder dan pemalunya padahal sudah seringkali duduk berdua-dua-an dengannya. Mungkin karena Pemuda merasa tak pantas. Merasa 'kurang modal' atau pun kalah kelas, sementara sebaliknya sang Gadis justru sudah kesengsem 100%. Maka Gadis punya pantun yang halus untuk bisa mengangkat kepercayaan diri Pemuda.

Jalitar pe jalitar
Laja-laja ni laklak
Dulang balou jalitar
Namarlajouhon pahu
Mabiar-pe mabiar
hata-hata ni halak
Ulang botou mabiar
Na marhatahon ahu

Jalitar pun jalitar
kulit-kulit lengkuas
Jarak balou (?) jalitar
yang berlengkuankan paku
Biar bagaimana
kata-kata orang
Jangan kakanda takut
berbicara dengan aku


Sedikit berbeda ceritanya bila sang Gadis kelihatannya jual-mahal dan menolak terus didekati sang Pemuda. Berbagai jurus sudah dijalankan dan rayuan paling maut pun sudah terlontar, toh umpan tak dimakan juga. Padahal orang tua kedua belah-pihak sudah sama-sama setuju, sebab si Gadis dan Pemuda itu sebenarnya marpariban. Nah, manakala begini, orang tua biasanya berusaha membesar-besarkan hati si Pemuda agar bersabar dan jangan menyerah. Sebab, mungkin saja sang Gadis merasa belum cukup umur untuk dilamar. Jadi harus alon-alon asal dapotan...

Bona-bona ni sanggar
Asok idege-dege
Anak boru marlajar
asok ielek-elek

(Pangkal batang pingping
pelan dipijak-pinjak
gadis yang baru belajar
pelan dibujuk-bujuk)



Tapi bagi gadis yang benar-benar angkuh, bukan pantun rayuan lah yang terolontar. Melainkan sejenis pantun mengejek yang menurut perkiraan saya jarang sekali disampaikan secara langsung, kecuali bila sudah demikian kesalnya seorang Pemuda. Sebab nada pantun ini benar-benar merendahkan harkat perempuan, karena nilainya hanya dipandang dari seberapa banyak emas kira-kira ia bisa dibeli.

Soni hinagergermu
piga bulung honasmu
Soni hinajengesmu
Piga tuhor omasmu

(Begitu kemerah-merahanmu
berapa daun nenasmu
Begitu kecantikanmu
Berapa emas kawinmu?)


Satu lagi pantun bernada mengejek seperti itu:

Jenges ni bintang ai
bilangsi gombur-ombur
Jengesni botou ai
Bilangsi sitangko jomur

(Cantiknya bintang itu
sayangnya kabur-kabur
Cantiknya saudari itu
Sayangnya pencuri jemuran)


III

Dalam tradisi Batak, sering diceritakan tentang pemuda yang terobsesi untuk mempersunting putri pamannya atau lazim disebut Pariban. Itu sebabnya kehadiran sang Pariban selalu menggetarkan hati. Bahkan dari jauh pun sudah membuat deg-degan. Apalagi bila dekat. Perasaan semacam ini lah yang mungkin diselami oleh pencipta pantun Simalungun menyebabkan hasilnya berbunyi seperti ini:

Aha nagerger ai
Bulung tabu do hape
Ise na hundul ai
Boru tulang do hape

(Apa yang merah itu
daun labu rupanya
Siapa yang duduk itu
Putri Tulang (Paman), ternyata)

Pantun lain yang mirip dengan itu:

Jir la mayang
Sintambak lau lang
Sirsir boru tulang
parmaen ni amang

(Ada bunga pinang
penambak air dulang
Kumpul Putri Tulang (Paman)
Menantu bapak)


Bila cinta sudah demikian mencengkeram, nada berlebihan dalam menggambarkan perasaan memang tak terhindarkan. Seolah setengah jiwa terbawa bersama si dia sang pujaan, yang menyebabkan bila ia tak ada, timpang lah rasanya dunia.

Berbahagia lah gadis-gadis bermarga Saragih, karena ada pengarang pantun yang demikian seriusnya memuja dan mengabadikannya.

Udan sai roh
Mataniari so taridah
Surat sai roh
Boru Saragih so taridah

(Hujan selalu datang
Matahari tak kelihatan
Surat selalu datang
Gadis (bermarga) Saragih tak kelihatan)


Lewat pantun ini si pengarang menggambarkan rasa merana dirinya tiap kali menerima surat dari pujaan hatinya, si boru Saragih. Surat itu tak cukup mengobati rindunya pada sang Matahari yang ia tunggu-tunggu itu. Lebih kacau lagi, tanpa si boru Saragih badan rasanya jadi berat. Malas buat ngapa-ngapain. Obatnya cuma satu, ya si boru Saragih itu.

Aha sitambar bayoh
Pusuk ni bulung rih
Aha sitambar rayoh
Anggo lang boru Saragih

(Apa obat bisul
Pucuk daun lalang
Apa obat letih
Kalau bukan Gadis (bermarga) Saragih)


Tentu tak hanya pria yang punya kemungkinan terobsesi pada paribannya. Perempuan pun bisa. Dan kepada mereka, ada tips yang bagus, kendati jalan yang ditempuh terkesan melingkar. Sebab pamali, marobu, atau pantang lah kalau anak perempuan tembak langsung. Lebih elegan bila masuk lewat pintu samping, yakni melalui calon ibu mertua, seperti pantun berikut:(Catatan: menurut saya, ini adalah pamali yang artificial dan bias jender. Sebab banyak juga yang melanggar tabu ini dan sukses mendapatkan paribannya).

Ihurak urat ni buluh
Ase dapot ampoduni
Nabuat uhur ni amboru
Ase dapot anakni

(Dikorek urat bambu
agar dapat tikus tanahnya
Ambillah hati sang Tante
agar dapat anaknya)



IV

Umum diceritakan bahwa proses PDKT dalam percintaan tempo dulu makan waktu yang panjang. Sebab ada kalanya merpati lebih jinak ketimbang calon pasangan. Seakan ada adagium, makin susah ditaklukkan makin menjulang lah rasa sayang. Dan, manakala dua hati itu kemudian terpaut, cinta pun merekat seolah tak kenal kata berpisah. Bahkan bisa mempertaruhkan nyawa segala, meskipun itu kadang-kadang adalah letupan perasaan sesaat yang dimabuk asmara. Coba lah simak, rayuan perjaka lewat pantun berikut. Apa mungkin ia demikian dahsyatnya memperjudikan hidup demi cinta? Ah, pemakaman umum sudah lama kehabisan tempat jika semua orang seperti ini.

Durian do na mabei
lingkaban na matobu
Paganan ma lah matei
Anggo lang saud mardomu

(Durian yang masak
Lingkaban yang manis
Lebih baik lah mati
Kalau tak jadi bersatu)


Berhamburannya kata-kata curahan perasaan, pujian, janji dan juga harapan baiknya kita anggap saja merupakan warna-warni orang yang kasmaran. Jika di zaman sekarang ada yang disebut cinta jarak jauh, karena alasan studi mau pun pekerjaan, di zaman dahulu sudah ada pantun yang menggambarkan kisah yang demikian itu. Jarak tempat tinggal memang selalu jadi kendala, walau pun bila ditilik dari sudut pandang sekarang, jarak yang dimaksud itu hanya urusan satu-dua jam perjalanan memakai sepeda motor.

Holi-holi ni batang
sanjongkal tulang bolon
Nasihol namin badan
Lingot dolog Simbolon

(Tulang-tulang belakang
sejengkal Paman besar
Badan sudah merindu
(Tapi) terhalang gunung Simbolon)


Kerinduan itu begitu tajamnya, sampai-sampai 'pisau' dijadikan sampirannya:

Pisoumu do pisouhu
pisou mambikbik tobu
siholmu do siholhu
sihol laho mardomu

(Pisaumu juga pisauku
Pisau pengupas tebu
Inginmu juga inginku
Ingin bersatu tuju)


Dan, siapa yang bisa menahan air mata jika rindu diibaratkan penyakit yang sewaktu-waktu kambuh, tak terhindarkan?

Ia sipanpan sipan
Sipan manjalur-jalur
Ia manomboh sihol
Iluh marbalur-balur

(Ada simpangan sipan
Sipan berjalur-jalur
Rindu sudah mendalam
Air mata berderai-derai)






V

Tujuan dari tiap percintaan pasti lah pelaminan. Ia merupakan puncak pencapaian dari pasangan yang memadu kasih. Seberapa panjang pun jalan yang telah ditempuh, sebanyak apa pun janji yang diikrarkan, singgasana rumah tangga lah yang jadi pelabuhannya.


Hanya saja, menuju ke sana, banyak lika-likunya. Dalam tradisi Simalungun dikenal Poldung. Ini adalah semacam forum musyawarah adat untuk membicarakan rencana pernikahan kedua belah pihak. Masing-masing pihak keluarga akan diwakili oleh semacam duta atau pengantara yang juga dijuluki Poldung. Poldung kedua belah pihak lah yang menjalankan peran diplomasi. Saling tawar-menawar tentang bagaimana proses adat yang akan dilangsungkan. Termasuk dengan konsekuensi-konsekuensi biaya dalam pesta perkawinan kelak.

Banyak cerita tragis di seputar peranan Poldung. Ada cinta yang akhirnya kandas, tak sampai ke pelaminan karena Poldung yang tak mencapai sepakat. Tidak selalu uang yang jadi pemicu ketidaksepakatan itu. Bisa juga karena salah-salah kata ketika berargumentasi. Bisa juga gengsi yang seolah dilecehkan. Dan, apa pun penyebabnya, pasangan yang urung bersatu itu akan meratap menyalahkan Poldung:

Untei mungkur saholbung
Pandan sahirang-hirang
Sombuh atei ni poldung
Mambahen hita sirang

(Jeruk purut sengarai
Pandan sejaringan
Puaslah hati Perantara (Poldung)
Yang membuat kita berpisah)


Tapi tak sedikit juga muda-mudi yang tak mau menyerah pada 'tirani' Poldung. Mereka memberontak. Mereka membulatkan tekad. Dan mereka nekad. Ibarat kata orang Betawi, ape lu kate, gue kagak peduli. Poldung boleh berunding, tapi biar langit runtuh dan bumi berguncang, tak kan bisa menggoyahkan cinta yang telah bersatu. Maka pantun yang sedih tadi bisa juga 'dibelokkan' bunyinya menjadi lebih optimistis seperti berikut:

Untei mungkur saholbung
pandan sahirang-hirang
Age martumpur poldung
Padanta ulang sirang

(Limau purut sengarai
pandan sepenjemuran
biar mati para pengantara
kita berjanji takkan bercerai)


Dan, agar ceritanya happy ending –sebab hidup sudah terlalu susah dan jangan dibikin ribet lagi-- mari lah kita membayangkan sang Pemuda dan Gadisnya akhirnya berhasil tiba di pelaminan. Cinta yang berjuang menelusuri tantangan dan ujiannya itu, menang. Semua orang pasti senang. Dan di pesta perkawinan, para hadirin memberi restu dengan berdendang.


On ma lading haladi
lading aek Ronuan
On ma doding nami
Doding pamasu-masuon

(Inilah kebun keladi
keladi sungai Ronuan
Inilah nyanyian kami
Nyanyian doa restu)



Ditekankan pula kepada mereka, bahwa pelaminan itu adalah sebuah pintu. Dalam perjalanan kemudian, tak kan selalu terang matahari yang muncul. Kadang-kadang ada mendung bahkan badai. Tetapi seperti syair lagu yang berkata di balik awan ada pelangi, begitu lah selalu harapan dan doa yang dipanjatkan. Hingga kelak beranak-bercucu. Jadi kakek dan nenek. Oma-Opa. Panjang umur dan sehat selalu.

Uratni pege Purba
Terus hapi ampuspus
Sayur nasiam matua
Ulang magin-maginan

(Urat langkuas Purba
jarak beranting-ranting
Lanjutkan usia tuan-puan
Jangan sakit-sakitan)


Hodong ni bagod toras
Ganup do marhulada
Ganup do hita horas
Itumpak Naibata)


(Pelepah enau teras
semua setengah matang
Semua kita selamat
Diberkati Tuhan YME)


VI


Di adat Betawi, saling melontarkan pantun pun terjadi tatkala rombongan pengantin pria datang melamar pengantin perempuan. Saling lempar pantun itu dibubuhi juga 'adu jurus' karena si pria memang harus piawai berkelahi. Dan kalau lolos dari ujian ini –biasanya sih lolos, sebab kalau tidak, event organizer pernikahan itu bisa dimaki-maki-- sang pengantin pria harus menghadapi ujian lain, yakni ujian ngaji. Setelah lulus, baru lah ia diperbolehkan memasuki rumah. Sang calon mertua sudah lega, karena calon mantu ternyata nyalinya hebat seperti juga ngaji-nya.

buah mangga bukan sembarang mangga
buahnye satu tulung petikin
aye bangga bukan sembarang bangga
mantu yang begini yang aye arep-arepin


Di Simalungun, calon mertua biasanya punya nasihat bernada serupa kepada putra/putrinya dalam mencari jodoh. Well, mungkin tak persis benar.

Langdong hondoron gumba
Timbahou do sihondoron
Lang dong tonggoron rupa
Parlahou do sitonggoron

(Jangan dipagar gumba
tembakau lah yang dipagar
Jangan memandang rupa
Baik budi lah yang dipandang)


Tapi sambil berkata begini, sang mertua juga sering menyelipkan saran kepada putrinya, “Tapi kalau boleh, tanya-tanya juga dong dia kerja dimana. Udah punya penghasilan tetap, gak? Bisa jadi tempat bersandar (Pangunsandean) nggak? Keluarganya ada yang jenderal, nggak? ..dst...dst.”

Ah, kalau yang terakhir ini kelakar saya belaka. Sekadar menghibur diri sendiri.

Lang be na tartonggitkon
paganan ma ironggokkon
Lang be tarboritkon
Paganan ma itartawahon

Tak dapat dikoyakkan
lebih baik direnggutkan
Tak tertahan lagi sakitnya
Lebih baik ditertawakan saja

Dan kalau ada kata yang salah, mohon jangan dibawa ke hati.

Halambir pondok-pondok
Sajongkal dua jari
Hurang pambotoh nami
Dear do iajari

Ikelapa pendek-pendek
sejengkal dua jari
Kami kurang pandai
Baiklah dinasihati

1 komentar:

yehudithuhr mengatakan...

VIVAKE-8T titanium nail job
VIVAKE-8T. I worked hard for this website for over a titanium piercing jewelry decade. The job smith titanium is for the whole titanium headers team, nano titanium babyliss pro and is done mens black titanium wedding bands on my own.